
Tim peneliti dari Pusat Studi Bioteknologi Universitas Gadjah Mada berhasil mengungkap perbedaan karakteristik racun dari dua spesies ular berbisa asli Indonesia: Calloselasma rhodostoma (ular tanah) dan Trimeresurus insularis (ular hijau ekor merah). Studi ini menyoroti bagaimana kedua racun tersebut memengaruhi darah, jaringan otot, dan sistem imun pada model hewan laboratorium. Dalam studi ini, peneliti melakukan uji in vivo menggunakan tikus untuk membandingkan efek hemotoksik (kerusakan darah dan pembuluh), miotoksik (kerusakan otot), dan respons peradangan yang diinduksi oleh kedua jenis bisa. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun keduanya tergolong sebagai ular berbisa, mereka memunculkan pola toksisitas yang berbeda secara signifikan.
Apa yang ditemukan?
Penelitian ini mengungkap perbedaan karakteristik toksisitas antara dua spesies ular berbisa yang umum ditemukan di Indonesia. Racun Calloselasma rhodostoma (ular tanah) menunjukkan efek hemoragik dan proinflamasi yang lebih dominan, ditandai dengan kerusakan pada pembuluh darah serta peningkatan jumlah sel imun dalam sirkulasi darah. Sementara itu, racun Trimeresurus insularis (ular hijau ekor merah) lebih menonjol dalam menyebabkan kerusakan otot atau miotoksisitas, termasuk nekrosis pada otot rangka dan perubahan struktural pada jaringan target. Temuan ini diperkuat dengan analisis biomarker darah dan histopatologi jaringan, yang menunjukkan pola kerusakan yang khas untuk masing-masing jenis bisa. Dengan demikian, studi ini memberikan gambaran komprehensif mengenai jalur dan mekanisme toksisitas yang berbeda dari kedua spesies ular tersebut.
Mengapa ini penting?
Ular berbisa masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat di banyak wilayah Indonesia. Dengan memahami mekanisme racun secara mendalam, penelitian ini membuka jalan bagi pengembangan antivenom spesifik yang lebih efektif, serta memberi dasar ilmiah bagi terapi tambahan untuk mencegah kerusakan organ permanen akibat gigitan ular. Studi ini merupakan bagian dari agenda besar Pusat Studi Bioteknologi UGM dalam menjelajahi potensi terapeutik dan biologis dari bisa ular, termasuk eksplorasi protein dan peptida bioaktif yang dapat dikembangkan sebagai obat masa depan. Temuan ini juga memperkuat inisiatif nasional dalam pengembangan antivenom monovalen berbasis karakteristik racun ular lokal, yang menjadi kebutuhan mendesak dalam sistem kesehatan Indonesia mengingat tingginya variasi geografis dan spesies ular berbisa di tiap wilayah.
Tentang penelitian ini
Penelitian berjudul “Comparative analysis of hemotoxic, myotoxic, and inflammatory profiles of Calloselasma rhodostoma and Trimeresurus insularis venoms in mice” telah dipublikasikan pada tahun 2025 di jurnal NarraJ.
Ingin tahu lebih banyak?
Silakan kunjungi artikel lengkapnya di tautan berikut: https://doi.org/10.52225/narraj.v5i2.1874
***
Oleh: Fajar Sofyantoro