
Antibodi monoklonal (monoclonal antibodies atau mAbs) kini menjadi salah satu senjata andalan dalam dunia pengobatan modern, terutama dalam menghadapi penyakit-penyakit kompleks seperti kanker, penyakit autoimun, dan infeksi berat. Dengan kemampuan mengenali sasaran secara spesifik, mAbs menjanjikan terapi yang lebih tepat sasaran dan efek samping yang minimal.
Namun, di balik keunggulannya, ada tantangan besar yang kerap dihadapi: antibodi ini mengalami agregasi. Agregasi antibodi monoklonal ini bisa membuat terapi menjadi kurang efektif, dan lebih buruk lagi, bisa memicu reaksi imun yang tidak diinginkan dari tubuh pasien.
Selama ini, perhatian para peneliti dan industri farmasi banyak terfokus pada bagaimana mAbs diformulasikan saat diproduksi. Namun, ada satu fase penting yang sering luput dari perhatian: pada tahap pemberian obat ke tubuh pasien, misalnya saat infus, injeksi, atau inhalasi. Di saat inilah antibodi bisa mengalami stress fisik dan kimia yang memicu agregasi protein.
Dr Marlyn Laksitorini, Deta Almira dan tim dari Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada mencoba mengulas tantangan ini dengan pendekatan berbeda—yakni melihat bagaimana bahan tambahan farmasi (disebut juga farmasiutikal eksipien) dapat membantu menjaga kestabilan antibodi selama proses pemberian obat kepada pasien.
Peneliti melakukan telaah pustaka dari berbagai jurnal ilmiah seperti Scopus, PubMed, dan ScienceDirect, dan menyeleksi enam studi eksperimental yang secara khusus meneliti peran eksipien terhadap stabilitas antibodi. Hasilnya cukup menjanjikan: sejumlah bahan tambahan seperti L-arginin, polisorbat, turunan trehalosa, analog prolin, dan siklodekstrin terbukti mampu membantu mencegah agregasi protein.
Eksipien ini membantu dengan beberapa cara: mengurangi stres di antar-muka, menghambat interaksi antarmolekul antibodi, dan menjaga struktur antibodi tetap stabil meski berada dalam kondisi stress seperti saat disemprotkan atau diberikan tekanan (shearing stress) dalam proses deliverynya ke tubuh melalui infus.
Ulasan ini memberikan perspektif baru yang sangat praktis: stabilitas obat tidak hanya bergantung pada formulasi di pabrik, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi saat diberikan ke pasien. Industri farmasi, peneliti dan tenaga kesehatan di rumah sakit perlu bekerjasama dalam menjaga agar obat antibodi monoklonal dapat sampai ke tubuh dalam keadaan stabil, tidak terjadi perubahan konformasi maupun agregasi protein. Dengan memahami hal ini, para pengembang obat dapat menciptakan terapi mAbs yang lebih aman, efektif, dan tahan terhadap berbagai tekanan fisik selama proses administrasi.
Untuk bahasan lebih lanjut dapat diperoleh pada: https://jurnal.ugm.ac.id/v3/JFPS/issue/view/797
***
Oleh: Marlyn Dian Laksitorini