
Human Serum Albumin (HSA) adalah salah satu protein terapeutik yang sering digunakan dalam pengobatan, khususnya melalui infus. Protein ini memiliki banyak fungsi penting, termasuk menjaga tekanan darah dan membawa berbagai zat dalam tubuh. Namun, karena golongannya sebagai obat protein, HSA sangat rentan terhadap kerusakan fisik seperti penggumpalan (agregasi) dan perubahan bentuk (denaturasi). Kondisi ini bisa menurunkan efektivitasnya, bahkan berisiko menimbulkan efek samping seperti potensi reaksi imun yang tidak dikehendaki.
Menariknya, kerusakan protein seperti ini bisa terjadi bukan hanya karena teknik formulasinya atau cara menyimpannya, tetapi juga karena protokol dalam pemberiannya ke tubuh pasien—misalnya, saat HSA dialirkan melalui selang infus. Sayangnya, faktor-faktor ini masih jarang diperhatikan dalam praktik klinis di Indonesia walaupun di negara berkembang seperti di Amerika Serikat, sudah banyak penelitian terkait stabilitas obat obat protein pada pemberiannya di setting klinik.
Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Dr Marlyn Laksitorini, Sinta Wahyu Septiani M.Pharm Apt dan tim dari Universitas Gadjah Mada mencoba menguak bagaimana material polimer yang diguankan dalam pembuatan selang infus dan kecepatan aliran infus dapat memengaruhi stabilitas fisik HSA. Dalam eksperimen ini, larutan HSA 20% dialirkan melalui dua jenis bahan tubing yang umum digunakan di rumah sakit: PVC (polyvinyl chloride) dan ABS (acrylonitrile butadiene styrene), dengan dua kecepatan berbeda: 2 dan 3 mL per menit.
Alih-alih menggunakan uji biokimia yang rumit, para peneliti mengembangkan metode sederhana namun efektif: mengukur perubahan kekentalan (viskositas) dan kejernihan larutan (turbiditas) sebelum dan sesudah dilewatkan selang infus pada kecepatan alir yang digunakan di praktek klinis.
Hasilnya menarik yang ditemukan pada penelitian ini adalah bahwa setelah melewati selang infus, larutan HSA menunjukkan kecenderungan peningkatan kekeruhan dan penurunan kekentalan, yang mengindikasikan adanya perubahan konformasi protein. Aliran HSA pada kedua bahan selang infus (PVC dan ABS) sama sama meningkatkan kekeruhan dan menurunkan kekentalan sediaan dengan perubahan yang tidak berbeda signifikan satu sama lain pada kecepatan alir yang sama. Namun, kecepatan aliran yang lebih tinggi (3 mL/menit) cenderung memberikan perubahan viskositas yang lebih besar—kemungkinan karena tekanan geser (shear stress) yang lebih besar. Studi ini tengah dilanjutkan dengan pemeriksaan konformasi tiga dimensi HSA menggunakan instrument biofisik guna melengkapi penemuan awal ini.
Temuan ini menunjukkan bahwa peralatan infus dan cara penggunaannya dapat mempengaruhi stabilitas obat protein seperti HSA. Dengan kata lain, bukan hanya isi infus yang penting, tapi juga jenis selang dan seberapa cepat cairannya dialirkan ke tubuh. Studi ini memberikan gambaran bahwa perlu lebih banyak studi dilakukan terhadap obat obat protein dalam pemberiannya di klinik karena selama pemberian, obat obat protein mengalami perubahanantar muka silih berganti dan memicu perubahan konformasi tiga dimensi protein. Tenaga klinis perlu bekerja sama dengan perusahaan farmasi dalam meningkatkan pemahaman terkait cara handling obat obat protein dan peptida di klinik.
Naskah lengkap dapat diperoleh di: https://ejournal.unimugo.ac.id/jfks/issue/view/94
***
Marlyn Dian Laksitorini